Tahun 2024 bisa dibilang tahun panas. Tahun politik, semuanya dilakukan secara serentak baik presiden, wapres, bahkan wakil rakyat baik DPR RI, DPRD Provinsi-Kabupaten hingga DPD.
Tahun Politik
Apakah panasnya hanya saat tahun 2024. Kita rasa tidak, panasnya sudah dimulai dari sekarang. Dari group whatsapp, facebook, twitter, instagram bahkan tiktok yang penuh joget juga sudah mulai bergerak. Apakah dunia perblog-an juga aman. Oh tidak rudolfo… dunia blogger sudah mulai heboh sejak awal tahun. Para blogger sudah mulai kebanjiran order untuk para calon pemimpin 2024 baik presiden maupun wakil rakyat.
Lalu, apa yang menarik sih dari sebuah pemilu dibandingkan dari cara kita memilih pemimpin, dia menjabat dan seterusnya. Apakah kita sebagai rakyat yang selow ini akan mendapatkan dampak yang baik atau sebaliknya ? Nah, pasti semuanya sudah dapat jawabannya, karena memilih pemimpin adalah memilih jalan masa depan negara ini.
Tapi, yang serunya adalah tentang perilaku mereka yang memilih. Kita perlu berkaca terutama penulis tentang perilakunya ketika suka atau memilih seorang pemimpin. Apakah karena beliau begini, atau begitu. Atau jangan-jangan ga ada faktor penting yang krusial buat seorang pemilih. Dia bisa jadi memilih karena dia pilih saja.. ga ada alasan serius yang harus kita kaji.
Tapi, ada juga pemilih yang memang mencari sebuah data. Ada pemilih yang sengaja melihat program-program dan prestasi. Ada pemilih yang dengan sukarela melihat dan mencari informasi tersebut secara serius. Yes, dia mungkin adalah pemilih yang melihat data.
Balik lagi ke judul artikel. Pertanyaannya apakah semua pemilih itu mencari data ? Apakah semua pemilih itu mencari informasi yang valid? Apakah semua pemilih itu berfikir secara rasional?
Dan jawabannya tidak. Sikap pemilih akan berbeda-beda sesuai dengan cara pandangnya. Tapi, dapat dipastikan banyak pemilih yang memilih berdasarkan persepsi.
Persepsi bahwa A adalah orang yang begini, bahwa B adalah lebih unggul dan cakap memimpin, bahwa C adalah orang yang tepat dan seterusnya.
Lahirnya persepsi itu karena terjadinya komunikasi dari Calon Pemimpin kepada pemilihnya.
Persepsi ini bisa dibilang buah dari kerja branding. Branding yang intens, tersistem maka lambat laun akan tertanam dibawah alam sadar.
Anda kira, branding itu cuma sekedar yel-yel atau foto saja? Oh tidak, branding itu diatur dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kapan dia senyum, sedih, atau raut mukanya berubah sesuai skenario.
Kapan dia berkunjung, mengunjungi siapa, diskusi apa, ngobrol dengan siapa semuanya sudah by design. Semuanya sudah by riset oleh tim brandingnya. Tidak semudah itu Rudolfo, semuanya sudah melalui diskusi panjang untuk menemukan “value” dari calon pemimpin. Banyak tim yang bergerak untuk membangun persepsi. Banyak tim baik yang terlihat maupun tidak terlihat yang mengusung calon tersebut makin dikenal dan “nempel” brandingnya.
Akan banyak trial error yang harus dilalui untuk melakukan langkah tertentu.
Bahkan, dulu jaman penulis menjadi tim digital politik. Para calon pemimpin inipun sudah kita arahkan untuk mempunyai stock foto dengan berbagai macam gaya untuk memenuhi deadline konten sosial media.
Nah, panjang kan… ya memang panjang rangkaian menciptakan sebuah persepsi. Tidak satu malam, tidak satu bulan..tidak. Ini perlu kerja keras dan kerja cerdas. Jadi apakah persepsi atau prestasi. Tentunya paling keren adalah jika prestasi ini dapat diketahui dan nempel hingga menjadi “value” spesial untuk calon pemimpin. Tapi, jika dia kalah oleh tim persepsi maka bisa jadi … dia perlu tim branding, tim media, tim hore-hore yang super solid.
Opini ini ditulis dini hari saat trio balita tidur. Tulisannya serius karena saya post juga di website relawan muda dot com .